Yogyakarta, Faperta UGM (3/8)- Webinar yang mengangkat tema “Bisnis pada Perlindungan Tanaman” diharapkan memberikan berbagai perspektif tentang bidang perlindungan tanaman yang tidak hanya tentang tanaman dan organisme pengganggu tanamannya, namun juga dari sisi bisnis yang saat ini terus berkembang. Dalam sambutannya, Dr. Ir. Witjaksono, M.Sc. menyampaikan ucapan terima kasih atas kesediaan para narasumber untuk berbagi cerita tentang perkembangan perlindungan tanaman baik dalam ilmu pengetahuan maupun implementasinya dalam bisnis.
Penyampaian materi oleh Prof. Ir. Andi Trisyono, M.Sc., Ph.D. menyampaikan “Konsep Perlindungan Tanaman”. Konsep perlindungan tanaman yang dipahami adalah PHT (Pengelolaan Hama Terpadu). Terdapat dua alasan mengapa konsep perlindungan tanaman adalah PHT antara lain secara ilmiah dapat dibuktikan dan didukung oleh peraturan yang berlaku saat ini. Terdapat berbagai macam penerapan PHT di dunia, khususnya di Indonesia yang dikembangkan sesuai dengan sosial ekonomi dan budaya. IPM I berfokus pada individu spesies hama yang dituju, IPM II mencakup populasi hama dan taktik yang digunakan, dan IPM III lebih luas pada suatu ekosistem. Pengembangan teknologi membutuhkan biaya yang lebih banyak dibandingkan menggunakan teknologi yang saat ini tersedia. Beliau menyampaikan bahwa penggunaan teknologi yang bijak dan tepat dapat digunakan untuk mengurangi biaya tersebut.
PHT di Indonesia dimulai pada tahun 1989 yang terdiri dari komponen dan prinsip PHT yang sudah dikenal hingga saat ini. Dalam penerapannya, PHT di Indonesia perlu diperbaiki antara lain pada petani gurem dengan kepemilikan yang beragam. Hal ini menyebabkan salah satu permasalah pada padi tidak dapat dikerjakan pada lahan per lahan. Mengendalikan hanya pada lahan sempit tidak akan memberikan manfaat yang maksimal. Perlu adanya gagasan baru yaitu elemen PHT lanskap, dalam satu unit manajemen multiekosistem. Selain tentang organisme pengganggu tumbuhan dan pengelolaannya, saat ini perlu adanya gagasan bagaimana nasib petani dalam hal ekonomi, kompetisi, dan sosial. Apakah petani dapat bertahan hidup dengan menerapkan PHT dan dapat berkompetisi dengan petani konvensional, serta dampak sosial yang harus mereka lakukan ketika salah satu dari petani tidak menerapkan PHT. Para praktisi perlindungan tanaman perlu melihat dalam hal ekonomi, kompetisi, dan sosial. Menurut beliau, terdapat berbagai macam PHT, yang dapat dilakukan saat ini adalah memilih pengelolaan yang tepat pada spesifik lokasi.
Ir. Suryo Banendro, M.P., yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Pertaniand an Perkebunan Provinsi Jawa Tengah menyampaikan materi tentang “Pengelolaan OPT di Tingkat Lapangan”. Hingga saat ini, produksi padi dan jagung di Jawa Tengah mengalami surplus. Tentunya berbagai persoalan diantaranya organisme pengganggu tanaman, sedangkan produksi kedelai yang saat ini mengalami kekurangan. Produksi bawang merah surplus dengan sentra bawang merah di Brebes, namun produksi bawang putih masih mengalami kekurangan. Sedangkan persoalan pada cabai adalah harga yang tidak stabil dan infeksi penyakit pada buah cabai akibat perubahan iklim.
Beliau menyampaikan bahwa strategi operasional penerapan PHT khususnya di Jawa Tengah tentunya melibatkan masyarakat dan pemerintah. Upaya pre-emptif yaitu dengan perencanaan agroekosistem dengan pengelolaan tanah, tanam serentak, pergiliran tanaman, penanaman varietas tahan, dan eradikasi sumber serangan, serta pemanfaatan musuh alami dan penanaman refugia. Upaya responsif yang dapat dilakukan yaitu dengan pengelolaan ekosistem, apabila populasi OPT kurang dari ambang pengendalian, maka memanfaatkan agens hayati, namun jika populasi sudah melebihi ambang pengendalian maka perlu menggunakan pestisida dengan menerapkan 6 Tepat. Pelaksanaan PPHT di komoditas hortikultura antara lain survey dasar atau koordinasi dengan masing-masing kepala desa, pertemuan dengan petani selama 10 kali untuk dilakukan sharing, kemudian dilanjut dengan SL GAP dengan produk Prima 3.
Ir. Joko Suwondo selaku Ketua Umum Asosiasi CropCare menyampaikan materi tentang “Pasar Pestisida Indonesia Peluang dan Tantangan”. Pada tahun 2017 nilai penjualan pestisida 10T, yang terdiri dari kontribusi Asosiasi CropCare (60 perusahaan) dan Asosiasi CropLife (kelompok perusahaan pestisida multinasional). Hingga 2019, nilai penjualan menurun hingga 8T. Hal ini dipengaruhi oleh kemarau panjang, konsumsi herbisisda menurun, serangan hama meningkat dan penyakit menurun, adanya kenaikan harga beberapa bahan aktif sebagai akibat kekurangan suplai, over supply paraquat, mancozeb, dan lainnya, serta pasar diperkirakan menurun 5,2% pada tahun 2019. Peluang perusahaan pestisida khususnya pada fungisida, insektisida, dan herbisida selektif. Pestisida sampai saat ini tetap diperlukan untuk mempertahankan produksi pertanian, pestisida biologi belum mampu diproduksi dalam skala ekonomi, dan intensifikasi pertanian penting sebagai kompensasi berkurangnya lahan pertanian yang dialihkan untuk perumahan dan industri.
Tidak hanya pestisida, peran perusahaan benih dalam peningkatkan ketahanan tanaman. Market share and opportunity disampaikan oleh Fatkhu Rohman, S.P., M.Si. yang saat ini bekerja sebagai senior breeder di PT. East West Seed Indonesia. Berdasarkan data produksi dan luasan sayuran semusim tahun 2018, terdapat 1,2 juta Ha dan 12 juta ton produksi yang siap dikonsumsi dengan produksi terbesar yaitu bawang merah. Sedangkan data produksi dan luasan buah semusim pada tahun 2018, semangka menduduki produksi tertinggi di Indonesia. Seluas 42.200 Ha dan 641.086 ton produksi. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan benih sangat diperlukan oleh petani Indonesia. Selain itu, konsumsi per kapita di Indonesia masih rendah dibandingkan standar WHO. Berdasarkan data ekspor, Indonesia mengekspor 13 ribu ton dan buah-buahan sekitar 185 ton.
Pengembangan varietas resisten dipengaruhi juga oleh perkembangan penyakit primer yang saat ini banyak menginfeksi tanaman pada beberapa lokasi. Penggunaan fungisida yang tinggi dan stres abiotik, serta pengaruh lingkungan lainnya mempengaruhi benih yang dikembangkan. Petani mengharapkan varietas yang ditanam memiliki kemampuan daya adaptasi yang bagus dan kualitas yang baik. Hal ini menjadi tantangan bagi Ewindo untuk memenuhi kebutuhan petani. Berdasarkan market info, pemulia tanaman akan mengembangkan ketahanan tanaman yang akan dilakukan, serta memutuskan akan memilih gen mana yang akan dipilih. Sumber plasma nutfah yang beragam diperlukan untuk perusahaan benih agar tercapainya benih tahan sesuai dengan kebutuhan petani. Acara ditutup dengan penyerahan sertifikat oleh Ketua Departemen Dr. Ir. Witjaksono, M.Sc. kepada para narasumber. Mir