Yogyakarta,Faperta UGM (23/9)- Gula merupakan komoditas unggulan yang dimiliki Indonesia sejak 100 tahun yang lalu. Namun, perkembangan yang terhambat akibat lemahnya kelembagaan, perkembangan teknologi yang lambat di petani, dan terjadinya alih fungsi lahan. PAKTA sebagai wadah diskusi pertanian menghadirkan Dr. Muhammad Abdul Ghani, M.Si. (Direktur Utama PTPN III (Persero) Holding), Prof. Dr. Azwar Maas, M.Sc. (Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM), Prof. Dr. Ir. Irham, M.Sc. (Guru Besar Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian UGM), dan Dr. Ir. H. Suyoto Hadisaputro, M.S. (Peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI)). Dr. Jamhari, S.P., M.P. menyampaikan bahwa dengan adanya diskusi ini dapat tercapai kecukupan gula mandiri, kesejahteraan petani yang meningkat, dan masalah produksi menurun sehingga terhambatnya swasembada gula yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2023. Ketua KAGAMA Pertanian, Ir. Y.N. Hari Hardono dalam sambutannya menyampaikan potensi produksi gula kristal putih di Indonesia yang setengahnya dikuasai oleh PTPN III. Beliau berharap dalam diskusi ini didapatkan pengetahuan dan informasi yang valid mengenai gula di Indonesia dan menjadikan PAKTA sebagai salah satu wadah masukan bagi pengambil kebijakan.
Indonesia memiliki PTPN III dengan 40 pabrik gula dibawahnya. Hal ini mendukung kebutuhan nasional sebesar 2,2 juta ton/tahun, namun hingga saat ini impor masih berlangsung dengan memenuhi 4 juta ton/tahun. Dr. Muhammad Abdul Ghani, M.Si. Direktur Utama PTPN III (Persero) Holding menyampaikan bahwa pencapaikan kinerja tahun 2021 semester I lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2020. Hal ini menjadi optimisme PTPN III untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas agar mencapai swasembada pada tahun 2023. Adanya transfer teknologi dan perbaikan pada internal perkebunan diharapkan mampu menyejahterakan petani yang akan mengangkat harga gula. Perbaikan kebijakan gula antara lain dengan ijin pendirian pabrik gula yang memiliki syarat dan ketentuan, selain itu pemanfaatan lahan lain yang dimanfaatkan sebagai pengganti lahan tebu yang telah dialihkan peruntukannya. Hal ini didukung dengan hasil penelitian dan survey yang dilakukan oleh Prof. Dr. Azwar Maas, M.Sc., Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM pada lahan di beberapa pulau di Indonesia. Seperti di Jawa, semua jenis tanah dapat dimanfaatkan sebagai lahan tebu, sedangkan di Sumatra dan Kalimantan dapat ditanam pada lahan yang bukan rawa atau gambut namun akan bersaing ketat dengan komoditas sawit. Nusa Tenggara memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan tebu, namun perlu cadangan air pada musim kemarau. Papua dengan luasan lahan yang cukup mengalami hambatan pada kondisi tanah tipis dan tidak subur. Namun dengan berbagai kondisi dapat dibantu dengan rekayasa kondisi lahan dan beberapa jenis bibit spesifik lokasi. Selain itu, beliau juga menyampaikan perlunya peningkatan perkebunan milik BUMN di Cirebon, Palembang, Lampung, dan Sulawesi. Pentingnya subsidi seperti di negara lain (±30%) dari penghasil gula siap ekspor.
Dr. Ir. H. Suyoto Hadisaputro, M.S., peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) stagnasi tebu menyebabkan meningkatkan impor gula. Target 6 juta ton/tahun tidak tercapai dalam beberapa tahun belakangan menyebabkan pesimisme petani tebu. Salah satu penunjang kehidupan tebu di Indonesia dapat memanfaatkan sugar fund melalui pungutan impor raw sugar. Pentingnya peran BULOG diperkuat dengan instrumen kebijakan satu pintu. Mati surinya P3GI akan berdampak pada industri gula yangmengancam keberadaan dan kelestarian 6000 plasma nutfah. Hal ini perlu adanya perhatian lebih bagi P3GI untuk merevitalisasi dan penanganan tebu rakyat. Perkebunan tebu rakyat mendapat perhatian khusus dari Guru Besar Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Irham, M.Sc. menyebutkan bahwa konsolidasi tebu rakyat dapat sebagai salah satu penunjang manajemen atau pengelolaan dari hulu ke hilir. Optimisme produksi dapat ditunjang dengan teknologi yang dikuasai petani. Implementasi program kemitraan berbasis konsolidasi merupakan prasyarat penting dengan melibatkan pabrik gula aktif sejak pengolahan lahan hingga revitalisasi, serta konsolidasi pada internal perkebunan agar tercapai produksi yang optimal dan berkelanjutan. Mir