Faperta UGM, Yogyakarta (28/9)- Sawit merupakan salah satu sumber devisa negara yang tinggi. Berkembangnya perusahaan sawit dari skala kecil hingga besar memberikan peluang kerja dan pendapatan tinggi masyarakat dan negara. Namun, banyak black campaign yang terjadi disebabkan oleh persaingan dagang internasional. Selain itu, pengembangan teknologi di sawit memerlukan waktu yang lama dan tidak mudah. Talkshow Sawit “The Golden Crops” yang dihadirkan KMIT sebagai puncak acara Lustrum IX KMIT.
Pembicara pertama merupakan Plantation Huma Capital Operation Head Gama Plantation, Sutarto Hadi, S.P., M.M. dan pembicara kedua Dr. Ir. Iman Yani Harahap M.S. direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Kedua pembicara yang memberikan dua sudut pandang dari kenyataan di lapangan dan pengembangan teknologi di pusat penelitian. Sutarto Hadi, S.P., M.M. memberikan pembuka dengan mengenalkan Gama Plantation yang berubah nama menjadi KNP Crop, memberikan pandangan mengenai perkebunan sawit, aturan-aturan sebagai perusahaan yang berhubungan langsung dengan lingkungan. Tidak dipungkiri bahwa dengan adanya pembukaan lahan hutan ke perkebunan menyebabkan perubahan sumber oksigen bagi mahkluk hidup lainnya. Namun, para perusahaan sawit juga berusaha untuk membuat pertanian berkelanjutan didalamnya. Masa produktif sawit hingga 25 tahun menyebabkan lingkungan cukup stabil.
Permasalahan seperti yang dituduhkan banyak orang mengenai pembakaran hutan, alumni sosial ekonomi pertanian UGM ini menyatakan bahwa perusahaan sawit lebih memilih pembukaan lahan hutan dengan sistem tebang dan menggunakan alat berat karena lebih efektif dan efisien serta biaya yang murah. Selain itu, adanya black campaign yang banyak digaungkan green peace dengan alasan perusakan lahan, paru-paru dunia berkurang, dan punahnya flora dan fauna, padahal penggunaan lahan sawit di seluruh dunia hanya 6% dari total lahan di seluruh dunia dengan produksi 33% dari total kebutuhan minyak di dunia. Indonesia merupakan negara yang cocok dengan tanaman kelapa sawit dengan berbagai macam tanah, utamanya lahan gambut. Selain itu, produksi tanaman kelapa sawit yang hanya akan diganti setelah 25 tahun produksi lebih stabil terhadap lingkungan dibandingkan dengan tanaman semusim seperti kedelai, jagung, dan rapeseed yang hanya satu musim tanam. Kelapa sawit tidak bisa tumbuh di Eropa ataupun tumbuh dengan perkembangan yang tidak baik. Padahal kebutuhan minyak sawit tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng, namun sebagai bahan baku dalam makanan, sabun, dan kebutuhan bahan pokok lainnya.
Dr. Ir. Iman Yani Harahap, M.S. menyampaikan bahwa saat ini kelapa sawit menjadi pendapatan utama negara, ketika negara tidak mampu membendung black campaign mengenai kerusakan lingkungan yang sebenarnya tidak dilakukan, maka 20 juta penduduk Indonesia yang bergantung pada komoditas sawit akan kehilangan pekerjaannya. Beliau menambahkan, kompetisi dagang minyak nabati menyebabkan banyak pihak memusuhi Indonesia, dengan lahan yang kecil dapat memproduksi lebih banyak dibandingkan Amerika dan Eropa yang memiliki lahan lebih luas dengan produktivitas rendah. Selain itu, water footprint tanaman kelapa sawit hanya memerlukan 1.098 m3 per TBS, sedangkan kebutuhan air pada tanaman kedelai lebih tinggi hingga 2.000 m3. Saat ini, harga sawit hanya Rp. 1.100 per ton, peran pemerintah diperlukan dalam penentuan harga. Permasalahan lingkungan dapat diatasi dengan teknologi yang saat ini dimiliki. Beliau berharap industri sawit harus dijaga agar tetap berkelanjutan. Mir