Yogyakarta, Faperta UGM (24/6)- Webinar Seri II “Pertimbangan Multidimensi Pengembangan Pertanian di Lahan Basah yang Berkelanjutan” merupakan salah satu rangkaian Dies Natalis Faperta UGM Ke-74. Acara yang dimoderatori oleh Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni, Dr. Ir. Sri Nuryani Hidayah Utami, M.P., M.Sc., diikuti oleh ratusan peserta melalui platform zoom dan youtube. Dekan Faperta UGM, Dr. Jamhari, S.P., M.P., dalam sambutannya menyampaikan bahwa perlunya kesiapan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangan dari pemanfaatan lahan marginal, khususnya lahan basah memgingat beberapa negara eksportir beras mulai melakukan pembatasan ekspor berasnya. Isu ketahanan pangan saat ini menjadi salah satu latar belakang pentingnya pengkajian multidimensi pemanfaatan lahan basah di Indonesia. Beliau juga berharap, hasil dari pengkajian pengembangan lahan basah ini akan menghasilkan konsep yang ideal untuk kepentingan pangan, ekonomi, dan lingkungan.
Dr. Yiyi Sulaeman, S.P., M.P., Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), menyampaikan peranana sistem pemetaan dalam mengakomodir basisdata lahan rawa di Indonesia. Penerapan sistem pemetaan menghasilkan suatu basisdata lahan rawa. Sistem usahatani di lahan rawa memerlukan pola tanam, produktivitas saat ini, kejadian organisme pengganggu tumbuhan, dan kelembagaan. Secara bertahap, saat ini keperluan sistem usahatani di lahan rawa dilengkapi. Peta tanah bisa digunakan untuk perencanaan teknis karena data yang didapat lebih detail. Semakin detail informasi dari peta tanah yang dimiliki, akan memudahkan transfer teknologi kepada petani. Sebaran lahan Rawa di Indonesia saat ini secara nasional 32.672.372 ha yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Citra satelit dapat digunakan untuk pemetaan peta tanah tematik, sedangkan drone mapping digunakan pada lahan rawa dengan cakupan luasan yang lebih detail dibandingkan citra satelit. Penilaian kesesuaian lahan dapat diketahui melalui Paket RPL yang menunjukkan data setiap kabupaten di Indonesia dengan dilakukan verifikasi di lapangan. Pengelolaan lahan rawa berdasarkan masalah memiliki empat tahapan antara lain masalah fisik-kimia lahan, perbaikan lahan, pemilihan tanaman, dan pengelolaan lahan terpadu. Pemilihan komoditas adaptif harus memenuhi syarat adaptif terhadap lingkungan tumbuh, akseptif (harga, kualitas, preferensi petani, dan konsumen). Sistem pemetaan berperan penting dalam menyediakan data dan informasi untuk memperkaya basisdata lahan rawa.
Pemaparan tentang “Tantangan Restora si Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional” disampaikan oleh Prof. Dr. Azwar Maas. Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) merupakan ekosistem yang berada di antara dua sungai atau antara sungai dan laut. Peralatan uji kualitatif tanah dan air yang digunakan adalah pH meter, TDS/EC untuk uji kandungan ion, dan Eh/ORP meter untuk uji aerasi tanah/air. Konsep perbaikan sistem tata air yang seuai dengan kebutuhan tanaman, terdapat sirkulasi air, mampu memberikan air segar, dan mampu menmbilar sumber racun yang timbul dari tanah. Konsep perbaikn media tanam berupa pengeluaran racun, pemberian bahan pembenah, pupuk, dan menjaga gangguan tanaman, serta pemiluhan jenis atau vrietas tanaman. Pentingnya kajian kualitas tanah pada masing-masing unit layanan tata air makro, mengikuti perkembangan produksi versi petani. Prof. Dr. Azwar Maas menyampaikan bahwa sinergi kegiatan minimal perbaikan tata air dan perbaikan kualitas lahan sebaiknya dilaksanakan secara bersama dengan waktu serantak, sehingga peningkatan produksi dapt dikerjakan secara runtut dengan anggaran yang sesuai.
Topik ketiga yaitu: Pengaturan Tata Kelola Air pada Sistem Rawa dalam Era Tata Kehidupan Normal Baru” disampaikan oleh Dr. Ir. Mohammad Amron, M.Sc., PU SDA., Direktur Eksekutif Kemitraan Air Indonesia. Indonesia menduduki posisi ketiga produksi beras di dunia, namun permasalahan alih fungsi lahan, jumlah penduduk yang terus bertambah, serta rasio lahan dan penduduk menjadi keterbatasan ketersediaan pangan dunia, khususnya di Indonesia. Lahan rawa memerlukan jaingan tata air untuk mencegah overdrain lapisan gambut akan terekspos. Tinggi muka air dan sirkulasi air dapat dibangun dengan bangunan pengatur air dan bangunan sekat kanal untuk mengurangi overdrain. Tata kelola air lahan rawa merupakan kunci keberhasilan pemanfaatan lahan rawa. Potensi lahan rawa yang termasuk lahan marginal dapat dimanfaatkan untuk mendukung ketahuanan pangan. Proses persiapan perlu kehati-hatian dengan memperhatikan potensi toksik, kemasaman tanah dan air memerlukan pencucian dan pematangan lahan. Tata kelola air mempunyai posisi penting untuk menjaga neraca ir, kebasahan tanah, membatasi kemungkinan kekeringan, kebarakaran, dan teroksidasi.
Topik terakhir disampaikan oleh Ir. Djoko Luknanto, M.Sc., Ph.D. dengan judul “Aspek Tata Saluran dalam Penanganan Lahan Gambut”. Alur penanganan lahan gambut lestari diperlukan kerjasama dari beberapa ahli. Kondisi existing saluran dikerjakan oleh ahli geodesi dan sipil. Sedngkan kepentingan manusia diatur melalui studi pertanian, sosial ekonomi dan budaya, serta kehutanan. Kebutuhan simulasi hidrodinamika jejaring saluran dibutuhkan data dasar berupa tata saluran kondisi existing dari Peta Lidar. Data tersebut dilakukan digitalisasi/pemodelan ke dalam perangkat lunak hidrodinamika jejaring saluran, kemudian hasil simulasi diinterpretasikan dengan kondisi lapangan. Diperlukan survei lapangan untuk klarifikasi antara hasil simulasi dengan kondisi nyata lapangan. Kriteria rancangan merupakan panduan teknis utama untuk memandu perancangan jejaring saluran existing agar dapat berfungsi sesuai dengan tujuan utama pembangunan pilot project. Perlu dikungan penuh aspek sosial, ekonomi, dan budaya, salah satu contohnya adanya organisasi masyarakat untuk mengatur jalannya tata air di kawasan tersebut. Mir