Cinta membaca dan sastra bisa mengantarkan siapa pun pada panggung perubahan, termasuk bagi Regina Claudia Setiawan, mahasiswi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (Faperta UGM) yang membuktikan untuk terus berkembang luas tidak hanya di lingkup pertanian. Berbekal ketekunan dan visi yang kuat, Regina berhasil meraih Juara-3 dalam ajang bergengsi Pemilihan Duta Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta 2025.
Kompetisi tahunan yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa DIY ini bertujuan untuk menjaring generasi muda yang tidak hanya cakap berbahasa Indonesia, daerah, dan asing, namun juga memiliki kepedulian terhadap pelestarian bahasa dan budaya. Pada agenda tahun ini yang berlangsung mulai 20 Maret hingga 29 Mei 2025, sebanyak 60 peserta dari berbagai perguruan tinggi mengikuti seleksi ketat sebelum akhirnya terpilih 20 finalis terdiri dari 10 putra dan 10 putri, termasuk Regina yang mengharumkan nama Faperta UGM.
Sejak awal, Regina sudah menyimpan ketertarikan terhadap dunia ‘perduataan’ di Yogyakarta. “Saya merasa cocok dengan Duta Bahasa, karena suka membaca, suka sastra, dan ingin merangkum perjalanan awal kuliah saya dalam bentuk kontribusi nyata,” ungkap Regina. Di tengah kesibukan menjalani magang, ia memutuskan untuk mendaftar dan menghadapi serangkaian tahapan seleksi yang cukup menguras energi.
Seleksi dimulai dari pengumpulan krida kebahasaan, daftar riwayat hidup, hingga wawancara organisasi dan kemampuan berbicara. Setelah lolos ke tahap 20 besar, Regina mengikuti masa karantina intensif selama 2–3 minggu, yang mencakup pelatihan UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia), kelas bicara publik, tata busana, hingga modeling. Ia mengaku sempat mengalami burnout, namun semangatnya untuk berkontribusi lewat sastra membawanya tetap bertahan hingga malam awarding.
Dalam presentasi Krida Kebahasaan, Regina mengangkat Serat Centhini, karya sastra klasik Jawa, sebagai fondasi karyanya. Ia merancang komik interaktif dan digital bertema perempuan dan pertanian dalam budaya Jawa. “Serat Centhini tak hanya kaya makna, tetapi juga menyuarakan kehidupan agraris dan posisi perempuan. Saya ingin mendekatkannya ke generasi muda dengan pendekatan visual dan kontekstual,” jelasnya.
Tak sendiri, Regina melibatkan banyak teman serta para akademisi dan seniman yang memahami budaya Jawa dan bahasa Sanskerta untuk mendalami naskah tersebut. Sosok Bu Desi, salah satu dosen yang selalu mendorongnya untuk ‘tidak hanya jago kandang’, menjadi inspirasi utama di balik keberhasilannya. “Dari EPA juga banyak yang mendukung saya untuk berkembang,” tambahnya.
Malam puncak adalah momen yang paling membekas baginya. Ia merasa bangga dan bersyukur bisa berdiri di antara para finalis dari latar belakang sastra, meskipun dirinya berasal dari dunia pertanian. “Justru karena saya bukan dari sastra, bisa sampai titik ini membuat saya semakin yakin bahwa dalam semua bidang ilmu, membaca itu penting,” ujarnya.
Sebagai bagian dari IKADUBAS (Ikatan Duta Bahasa Yogyakarta), Regina kini kerap diundang dalam berbagai acara resmi Balai Bahasa DIY untuk menyosialisasikan pengutamaan bahasa Indonesia, pelestarian bahasa daerah, dan penguatan karakter bangsa. Ia percaya bahwa sastra dan bahasa adalah sarana penting untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air.
“Cara mencintai bangsa itu banyak, dan bersastra adalah salah satunya. Bahasa adalah cermin dari sikap, dan sastra adalah cara kita bercerita, menyampaikan opini. Jangan takut bersastra, apapun latar belakang kalian, karena kalian juga yang menjunjung bangsa Indonesia,” pesannya kepada generasi muda.
Regina Claudia membuktikan bahwa mahasiswa pertanian pun dapat berkontribusi aktif dalam pelestarian budaya dan kebahasaan nasional. Dengan semangat lintas disiplin, ia menyuarakan pentingnya keterbukaan terhadap literasi, budaya, dan kreativitas sebagai pendorong inovasi sosial yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 4 (Pendidikan Berkualitas), dan SDG 5 (Kesetaraan Gender).
Penulis: Hanif Falah Nasrulloh
Editor: Desi Utami