Ketahanan pangan menjadi fokus bersama yang perlu ditingkatkan dengan mewujudkan kedaulatan pangan dan kemandirian pangan. Sampai saat ini, Indonesia memiliki skor yang cukup baik untuk keterjangkauan pangan, tetapi perlu memperbaiki aspek ketersediaan, kualitas pangan, serta ketahanan dan keberlanjutan sumber daya alam. Untuk itu, pemerintah mendorong upaya transformasi pertanian dengan pembangunan pertanian yang inklusif dan efisien dengan mengimplementasikan berbagai kebijakan, seperti pengembangan Closed Loop Hortikultura, pengembangan kawasan hortikultura berorientasi ekspor dengan model kemitraan CSV (Creating Shared Value), pengendalian alih fungsi lahan sawah, serta Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai fasilitas akses pembiayaan.
Hal tersebut disampaikan oleh Dida Gardera, S.T., M.Sc., PLH Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Bidang Perekonomian, yang hadir sebagai keynote speaker dalam acara Seminar Nasional Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian pada Kamis, 6 Oktober 2023 di Eastparc Hotel Yogyakarta. Sejalan dengan tema yang diusung, yaitu “Transformasi Pertanian Indonesia Menuju Pertanian yang Efisien, Inklusif, Berdaya Saing, Berkelanjutan, dan Mensejahterakan Petani”, tiga narasumber lainnya pun turut menyampaikan materi mengenai transformasi pertanian dari segala sisi.
Prof. Dr. Jamhari, S.P., M.P., salah satu Guru Besar Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM menyampaikan bahwa transformasi pertanian dapat terwujud dengan peran kelembagaan yang kuat.
“Sektor pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari peran kelembagaan dengan transformasi melalui beberapa cara, seperti holding, konsolidasi, dan modernisasi pertanian, menumbuhkan pengusaha muda pertanian lokal profesional, serta kerja sama antara kelompok tani, gabungan kelompok tani (gapoktan), koperasi pertanian, dan perusahaan mitra berupa BUMN, BUMD, BUMDes, dan swasta,” ujar Jamhari.
Di sisi lain, R.R. Yuli Sri Wilanti, S.Pi., M.P. selaku Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Hortikultura, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menambahkan, closed loop agribinis hortikultura menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan ketidakcocokan antara supply dan demand di subsektor hortikultura.
“Pada dasarnya, permasalahan subsektor hortikultura berkaitan dengan keterbatasan, serta adanya mismatch atau ketidakcocokan antara supply dan demand, kelembagaan, pendampingan, dan rantai pasok, sehingga Indonesia perlu memanfaatkan model kemitraan closed loop agribisnis hortikultura,” tambahnya. Yuli menjelaskan bahwa closed loop adalah suatu model kemitraan agribisnis dari hulu sampai hilir dengan melibatkan multi-stakeholders dan dikembangkan dalam ekosistem yang berbasis digital, teknik budidaya GAP, sistem distribusi yang baik, dan jaminan pasar harga yang bersaing oleh off-taker.
Dr. Dwi Indra Purnomo, salah seorang Dosen Universitas Padjadjaran yang merupakan founder “The Local Enabler”, juga menegaskan bahwa transformasi pertanian perlu mewujudkan pertanian yang inklusif untuk menuju Indonesia Emas 2045. Ia memaparkan strategi inklusif dirancang untuk memadukan peran dari berbagai sektoral, mulai dari pemerintah, swasta, masyarakat petani, LSM, dan organisasi non-pemerintah.
“Kolaborasi ini dapat memastikan inovasi dan teknologi dapat diakses dan dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat pertanian, sehingga menjadikan mereka sebagai agen perubahan menuju Indonesia yang lebih adil, makmur, dan berkelanjutan di tahun 2045,” jelas Dwi.
Seminar Nasional Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian diharapkan dapat menjadi sarana bagi akademisi, peneliti, pemerhati, pemerintah, masyarakat, serta pemangku kepentingan lainnya untuk berkontribusi nyata melalui berbagi informasi, menyampaikan gagasan, dan temuan penelitian dalam penguatan sumber daya manusia dan sosial ekonomi menuju pertanian yang efisien, inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Penulis: Hanita Athasari Zain dan Sanditha Setya Wisaksanti
Foto: Media Faperta