Bertempat di Kompleks Pemda Sumba Timur pada hari Rabu 14 Desember 2023 telah dilakukan rapat evaluasi dan koordinasi penanganan serangan belalang kembara. Serangan telah terjadi sangat masif merusak lahan pertanian masyarakat dan mengancam ketahanan pangan daerah sejak Februari 2023. Dalam rapat evaluasi, hadir Tim Fakultas Pertanian UGM, perwakilan FAO Indonesia, Dirlintan Kementan, perangkat daerah dari 4 kabupaten, para camat serta tokoh masyarakat.
Kolaborasi intensif multi-pihak telah berhasil menekan populasi belalang kembara dengan sangat signifikan dari populasi 24 miliar pada bulan Februari menjadi 15 juta pada bulan November 2023. Sistem Kerjasama multi-pihak dan pemantaun yang terstruktur dan terjadwal serta intervensi yang tepat menjadi kunci sukses penanganan. Hal ini juga menjadi strategi yang prospektif untuk terus dapat dilanjutkan seperti dipaparkan ketua Tim UGM Prof. Dr. Andi Trisyono, MSc.
Tim UGM, Perwakilan FAO Indonesia, Dirlintan Kementan dan Kepala Dinas Pertanian SumbaTimur
Keberhasilan penanganan hama belalang kembara di Pulau Sumba yang melibatkan multi-pihak dan agensi internasional merupakan wujud nyata dari implementasi Sustainable Development Goals [SDGs] terutama untuk tujuan 1 [No Poverty], tujuan 2 [No Hunger], tujuan 13 [Climate Action], tujuan 15 [Life on Land] dan tujuan 17 [Partnership for the Goals].
Mengapa Populasinya Meledak?
Belalang Kembara (BK) (Locusta migratoria) merupakan salah satu jenis hama yang sangat merusak terutama pada fase gegrarius atau mengelompok. Hama ini di Indonesia tersebar di wilayah bagian timur, diantaranya di Pulau Sumba. Ledakan (outbreak) BK sudah terjadi sejak tahun 2019 sampai sekarang dan ledakan juga sudah terjadi pada periode-periode waktu sebelumnya. Ledakan BK di Pulau Sumba sudah sering dialami dengan interval terjadinya semakin pendek yang berarti ancaman kerusakan pada komoditas pertanian semakin tinggi.
Siklus hidup hama ini di daerah tropis berkisar antara 3-4 bulan yang mempunyai dua fase kehidupan yaitu soliter (menyendiri) dan gregarius. Pada saat fase soliter hama ini hidup terpisah, biasanya hidup di padang rumput, dan tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi pada komoditas pertanian. Karena berbagai faktor BK soliter meningkat populasinya dan berubah ke fase gregarios yang ditandai dengan mengelompok. Pada fase ini BK muda (disebut nimfa) akan berpindah tempat untuk mencari makanan yang sesuai dengan melompat dan ketika mereka menjadi dewasa (imago) akan migrasi dengan terbang ke tempat wilayah lain yang lebih sesuai. Fase gregarius sangat merusak pada komoditas pertanian.
Faktor biotik yang mendorong terjadinya outbreak BK diantaranya adalah menurunnya populasi musuh alami baik itu predator maupun parasitoid. Musuh alami merupakan regulator yang menekan secara alamiah perkembangan populasi BK sehingga tetap rendah dan tetap pada fase soliter yang tidak merusak. Karena populasi musuh alami yang rendah maka kemampuan sebagai daya pengendali perkembangan populasi berkurang dan BK yang menetas banyak yang hidup dan berkembang menjadi dewasa dan mengasilkan keturuan berikutnya. Populasi yang kemudian semakin banyak ini mendorong ke fase gregarius dan migrasi yang kemudian terus meningkat dan merusak. Di samping faktor biotik juga ada faktor abiotik misalnya curah hujan yang cukup namun tidak berlebihan sehingga memungkinkan ketersediaan pakan yang selalu ada, tidak mematikan telur karena busuk, kelembaban yang kondusif untuk BK berkembang baik. Suhu yang sangat tinggi juga menyebabkan perkembangan yang terhambat. Kegiatan manusia dapat mempengaruhi keduanya, terutama faktor biotik terkait dengan keberadaan dan kelestarian musuh alami. Penangkapan burung predator memperlemah perannya dalam mengendalikan perkembangan populasi BK.
Pola Serangan Hama Belalang Kembara
Pengendalian Belalang Kembara
Kegiatan pengendalian sudah dilakukan sejak meledaknya hama ini (tahun 2019) baik dengan menangkap dan kemudian dimatikan atau menggunakan insektisida. Namun, hama ini terus ada dalam populasi yang sangat besar terutama mulai pada awal musim penghujan (November) dan kemudian terus meningkat dan puncaknya disekitar bulan Februari s.d. April. Saat populasi BK pada fase gregarius dan migrasi maka sebarannya sangat luas dan kadang di wilayah/habitat yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Di sisi lain, pengamatan secara sistematis untuk mengetahui dimana BK berada saat itu belum dilakukan sehingga akan selalu ada populasi BK yang tidak teramati dan tidak terkendalikan. Populasi ini menjadi sumber bagi perkembangan populasi generasi baru. Ini adalah satu hal yang menjelaskan mengapa outbreak sejak 2019 terus menerus terjadi.
Februari 2023 merupakan puncak populasi BK, khususnya di Sumba Timur. Pemerintah Sumba Timur bersama-sama dengan UGM, Kementerian Pertanian, dan FAO bekerjasama dan melaksanakan pengendalian BK secara serempak yang dimulai tanggal 6 Februari 2023. Sistem kami bangun dan terdiri atas empat rangkaian kegiatan secara berturutan dan berkesinambungan: 1) pemetaan untuk mengetahui dimana BK, populasi berapa, fase apa; 2) pengendalian yang merupakan aksi tindak lanjut dengan melakukan penangkapan maupun penyemprotan BK di daerah yang sudah teridentifikasi dari kegiatan pertama; 3) evaluasi ditujukan untuk mengetahui seberapa efektif teknologi pengendalian yang diterapkan dalam menurunkan populasi BK; dan 4) monitoring dan surveilensi untuk memantau secara berkesinambungan populasi dan penyebaran BK sehingga kecenderungan secara umum dan luas dapat dipahami. Keempat rangkaian kegiatan tersebut dilakukan dengan interval dua minggu sekali dan laporan hasil pemetaan, pengendalian, dan evaluasi disampaikan pada tanggal 15 dan 30/31 setiap bulannya. Prinsip yang diterapkan untuk mencapai keberhasilan adalah pengendalian secara luas, serempak, dan berkesinambungan/berkelanjutan.
Hasil pemetaan yang dilakukan tanggal 4-5 Februari 2023 di Sumba Timur diprediksi jumlah BK sebanyak 24,5 milyar. Tanggal 6 dilakukan Gerakan Pengendalian secara luas dan serempak dan diteruskan secara periodik mengikuti sistem diatas. Hasil dua kali pengamatan di bulan November 2023 di Sumba Timur sudah tidak ditemukan populasi BK gregarius. BK pasti masih ada namun sangat besar kemungkinannya sudah pada fase soliter yang jumlahnya sedikit dan tersebar.
Cerita di tiga kabupaten lain (Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya) agak lain. Kegiatan secara sistematis dengan empat komponen di atas baru dimulai pada bulan September 2023. Populasi migran ataupun hasil tetasannya di jumpai di tiga kabupaten ini. Teknologi pengendalian yang digunakan sama dengan di Sumba Timur dan efektif dalam mematikan BK. Sampai dengan Laporan akhir bulan November 2023, populasi gregarius BK masih ditemukan di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Oleh karena itu, keberlanjutan untuk terus melakukan pemetaan yang seksama, pengendalian yang baik di semua wilayah yang teridentifikasi, melakukan evaluasi serta monitoring akan menjadi kunci dalam menurunkan dan mengembalikan populasi BK ke fase soliter di Pulau Sumba.
Langkah Berikutnya
Penangkapan BK dan penyemprotan insektisida ditujukan untuk jangka pendek supaya populasi segera menurun sehingga kerusakan dan kerugian dapat dikurangi/dihindari dan petani merasa “aman” untuk menanam komoditas pertanian. Teknologi pengendalian yang lebih ramah lingkungan perlu dicari, dikembangkan, dan diterapkan untuk tujuan jangka menengah dan panjang. Keberadaan musuh alami BK, misalnya burung dan serangga predator, menjadi salah satu komponen penting untuk menjaga agar populasi BK di Pulau Sumba tetap rendah dan tetap pada fase soliter. Ada banyak spesies burung yang ada di Kabupaten Sumba Timur dan beberpa diantaranya adalah pemakan belalang. Namun, populasi burung predator tersebut sangat rendah sehingga perlu diupayakan untuk melindungi, melestarikan, dan menambah populasi burung predator lokal di Pulau Sumba. Penelitian tentang efektifitas entomopatogen juga sedang berjalan yang nantinya bisa menjadi salah teknologi yang bisa digunakan untuk mengendaliakn BK yang lebih ramah dibandingkan dengan insektisida kimia sintetik.
Sistem yang terdiri atas empat kegiatan tersebut perlu menjadi basis dalam manajemen BK di Pulau Sumba sehingga berkembangnya populasi BK dapat dideteksi seawal mungkin (sistem peringatan dini) dan langkah pengendalian bisa segera dilakukan untuk mencegah outbreak besar di Pulau Sumba di tahun-tahun mendatang.