
Sejumlah mahasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (Faperta UGM) turut ambil bagian dalam program nasional Tim Patriot yang diinisiasi oleh Kementerian Transmigrasi. Program ini bertujuan untuk memetakan potensi komoditas unggulan di berbagai wilayah transmigrasi di Indonesia. Salah satu peserta, Adisa Resti Gestasani, alumni Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian angkatan 2020, membagikan pengalamannya selama menjalankan misi di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur.

Adisa mengungkapkan bahwa kondisi geografis Sabu Raijua cukup menantang, dengan iklim yang kering dan suhu yang tinggi. Keterbatasan akses terhadap air bersih menjadi persoalan utama. “Kami harus membeli air dalam tangki, dan harga galon di sini bisa mencapai dua kali lipat dari harga di Jawa,” tuturnya.
Selain itu, harga kebutuhan pokok yang relatif tinggi dan sistem transaksi yang unik, di mana warung-warung kecil hanya menerima nominal kelipatan lima ribu rupiah, menjadi pengalaman baru yang menarik. Meski demikian, Adisa menemukan potensi pertanian yang menjanjikan, seperti bawang sabu dan varietas lokal wola luna pudi. Komoditas ini tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh masyarakat setempat, bahkan telah dipasarkan hingga ke Kupang dan Papua.

Sebagai bagian dari Tim Patriot, Adisa dan timnya menjalankan tugas pemetaan potensi ekonomi lintas sektor, meliputi pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, hingga industri lokal. Proses dimulai dengan analisis data sekunder dari Badan Pusat Statistik dan dinas terkait, yang kemudian diverifikasi melalui observasi lapangan dan wawancara dengan pelaku usaha. “Kami memetakan rantai pasok dan mengidentifikasi desa-desa yang menjadi pusat produksi komoditas unggulan,” jelasnya.
Keterbatasan infrastruktur menjadi hambatan signifikan dalam pelaksanaan kegiatan. Akses jalan yang belum merata dan keterbatasan jaringan listrik di luar jalan utama berdampak pada mobilitas tim serta distribusi komoditas. “Kami pernah hampir terjatuh saat menuju lokasi petani rumput laut karena kondisi jalan yang berubah drastis dari aspal menjadi pasir,” kenang Adisa.
Di sisi lain, perbedaan bahasa dan gaya komunikasi masyarakat lokal menjadi tantangan tersendiri. “Masyarakat berbicara dengan cepat dan sering menyingkat kata. Saya belajar beberapa kosakata dalam bahasa Sabu, seperti ‘sonde’ yang berarti ‘tidak’,” tambahnya. Interaksi dengan warga setempat menjadi sarana pembelajaran budaya yang memperkaya pengalaman lapangan.

Yumechris Amekan, S.Si., M.Biotech, Ph.D. (Mikcy), selaku Ketua Tim Patriot sekaligus dosen dari Departemen Mikrobiologi Pertanian Faperta UGM, turut membagikan refleksi atas dinamika tim selama program berlangsung. Ia menerapkan gaya kepemimpinan yang santai dan komunikatif. Pengalaman studi di Inggris membentuk pendekatannya yang terbuka. Gaya komunikasi yang tidak terlalu formal mempermudah proses bonding dengan mahasiswa, menciptakan suasana kerja yang produktif dan nyaman.
Ia juga berusaha menjadi “gelas kosong” yang siap belajar dari rekan-rekan mahasiswa dari Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Ia aktif bertanya dan mendalami metode analisis, penyusunan kuesioner, serta pengolahan data dari perspektif ekonomi dan sosial. Menurutnya, perbedaan pendekatan justru memperkaya analisis dan memperkuat kontribusi tim secara keseluruhan.
Menutup wawancara, Micky menyampaikan harapannya agar program ini tidak berhenti di tahap awal. Ia berharap rekomendasi yang telah disusun dapat ditindaklanjuti oleh tim lain atau bahkan oleh tim yang sama. Tujuannya adalah agar daerah seperti Sabu Raijua memiliki potensi yang bisa diangkat, meningkatkan ekonomi lokal dan kesejahteraan masyarakat. Ia menyoroti pentingnya mengubah stigma negatif terhadap NTT dan menjadikannya sebagai garda terdepan Indonesia di wilayah perbatasan.
Ia juga mendorong agar UGM terus mengirimkan mahasiswa-mahasiswa terbaiknya ke daerah-daerah seperti Sabu Raijua, baik melalui program KKN maupun jalur lainnya. “Sabu baru dua tahun lalu dikunjungi KKN, dan belum ada lagi sejak itu. Padahal potensi daerah ini sangat besar,” ujarnya.

Di sisi lain, Adisa berharap hasil riset Tim Patriot dapat dijadikan dasar dalam perumusan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya bagi calon transmigran dan masyarakat lokal. Ia juga mendorong mahasiswa lain untuk menjadikan wilayah seperti Sabu Raijua sebagai objek penelitian akademik. “Potensinya besar, namun referensi ilmiahnya masih terbatas. Sabu Raijua adalah hidden gem yang layak untuk dieksplorasi lebih lanjut,” tutupnya.
Kegiatan ini turut berkontribusi dalam implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, di antaranya SDG 1: Tanpa Kemiskinan, SDG 2: Tanpa Kelaparan, SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, SDG 9: Industri Inovasi dan Infrastruktur, SDG 11: Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.
Penulis: Beny Nabila Happy Fauziah
Editor: Desi Utami
Dokumentasi: Adisa Resti Gestasani