
Mengawali ekspedisi tanpa ekspektasi, Nafeny Nirmala Siwi, alumni Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (Faperta UGM), menemukan makna pengabdian yang mendalam di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Melalui keterlibatannya dalam program Tim Patriot, ia berperan aktif dalam pemetaan komoditas unggulan di wilayah transmigrasi, sekaligus menjadi bagian dari upaya strategis pembangunan berkelanjutan yang digagas oleh Kementerian Transmigrasi bersama perguruan tinggi nasional.

Sabu Raijua, pulau kecil di antara Kupang dan Sumba, menjadi lokasi penugasan Nafeny bersama tim ekspedisi. Perjalanan menuju lokasi bukan hal sederhana: dari pelepasan di Jakarta, transit di Kupang, hingga menyeberang laut selama sepuluh jam menggunakan kapal cepat. “Kami tiba di Sabu tanggal 18 September, setelah berangkat malam sebelumnya dari Kupang,” kenangnya.
Cuaca panas dan lanskap kering menjadi kesan pertama yang langsung terasa. Namun, bukan itu yang membuat pengalaman ini berkesan, melainkan proses mengenali wilayah yang sebelumnya asing dan menyelami potensi yang tersembunyi di dalamnya.
Dalam ekspedisi ini, peserta dibagi menjadi dua tim: pemetaan wilayah dan pemetaan komoditas unggulan. Nafeny tergabung dalam tim kedua, yang bertugas mengidentifikasi komoditas yang dapat dikembangkan di kawasan transmigrasi. “Kami mulai dari pengumpulan data sekunder sejak Agustus, lalu melakukan validasi langsung di lapangan,” jelasnya.
Tantangan terbesar datang dari ketidaksesuaian data. Beberapa dokumen resmi tidak tersedia secara digital, dan data produksi yang ditemukan sering kali tidak akurat. “Kami harus melakukan banyak validasi, termasuk konfirmasi langsung ke dinas pertanian. Ada perbedaan angka yang cukup signifikan,” ungkapnya.
Di balik dinamika lapangan, ekspedisi ini juga menjadi ruang pembelajaran lintas disiplin yang dipimpin oleh Yumechris Amekan, S.Si., M. Biotech., Ph.D. atau kerap disapa Micky, dosen Mikrobiologi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM sekaligus Ketua Tim Ekspedisi Patriot di wilayah tersebut. Penunjukan dirinya sebagai ketua tim bukan tanpa alasan, selain berasal dari NTT, ia memiliki pemahaman kultural yang mempermudah komunikasi dan koordinasi di lapangan. “Saya senang bisa mengemban tugas ini. Selain menantang, saya merasa bangga bisa berkontribusi untuk daerah asal saya,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa ekspedisi ini bukan sebatas kegiatan akademik, melainkan upaya nyata membuka pintu kerja sama antara pemerintah daerah dan institusi pendidikan nasional. “Selama ini mereka (masyarakat NTT) lebih banyak bekerja sama dengan universitas lokal seperti Undana (Universitas Nusa Cendana). Kehadiran kami dari UGM membawa perspektif baru dan keahlian lintas bidang, khususnya di sektor pertanian,” jelasnya.
Dengan dana operasional yang cukup besar dan target capaian yang kompleks, tim dituntut untuk bekerja secara sistematis dan bertanggung jawab. “Kami mengelola hampir 470 juta rupiah untuk program ini. Mahasiswa belajar tidak hanya soal teknis lapangan, tapi juga manajemen proyek dan administrasi,” tambahnya.
Sementara itu, bagi Nafeny, program Tim Patriot bukan sekadar proyek jangka pendek. Ia melihat potensi besar untuk keberlanjutan, terutama melalui rencana Beasiswa Patriot yang sempat disinggung dalam pelepasan peserta. “Harapannya, program ini bisa terus berjalan dan membuka peluang bagi daerah transmigrasi untuk berkembang,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran mahasiswa sebagai penggerak perubahan. “Mahasiswa punya peran strategis untuk mendorong kemajuan wilayah transmigrasi. Kita bisa menjadi jembatan antara data, kebijakan, dan masyarakat.”
Kegiatan Ekspedisi Patriot diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, di antaranya SDG 1: Tanpa Kemiskinan, SDG 2: Tanpa Kelaparan, SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, SDG 9: Industri Inovasi dan Infrastruktur, SDG 11: Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.
Penulis: Beny Nabila Happy Fauziah
Editor: Desi Utami
Dokumentasi: Nafeny Nirmala Siwi