Pusat Kajian Kebijakan Pertanian (PAKTA) Fakultas Pertanian UGM dengan bekerja sama dengan Institute for Rural Development (IfoRD) dan KAGAMA Fakultas Pertanian UGM mengadakan seminar nasional dengan tema Quo Vadis Subsidi Pupuk. Seminar diselenggarakan pada Senin, 18 Juli 2022 di Hotel University Club (UC) UGM. Seminar ini membahas isu strategis yang saat ini sedang hangat, yaitu permasalahan-permasalahan terkait subsidi pupuk dan bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi yang logis dan realistis. Acara ini mendapat sambutan baik dari Sekjen KAGAMA Pertanian, Prof. Achmadi Priyatmojo dan dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Pertanian UGM, Ir. Jaka Widada, M.P., Ph.D.
Seminar dimoderatori langsung oleh Ketua PAKTA UGM, yaitu Subejo, S.P., M.Sc. Ph.D. Paparan dalam seminar diawali dengan penyampaian hasil kajian dari Tim PAKTA UGM yang diwakili oleh Dr. Jamhari, S.P., M.P. Berdasarkan hasil kajian, diketahui bahwa pupuk terbukti secara signifikan meningkatkan produktivitas pertanian. Oleh karena itu, apabila subsidi dihapuskan maka dalam jangka pendek akan menurunkan produktivitas dan secara jangka panjang akan memengaruhi ketahanan pangan negara. Untuk memperluas perspektif dalam merumuskan kebijakan, seminar juga menghadirkan perwakilan petani, yaitu Alip Sutomo (Untung), untuk menyampaikan testimoninya terkait dengan permasalahan subsidi pupuk yang dialami petani. Untung menyatakan bahwa permasalahan yang mereka hadapi adalah keterlambatan dan keterbatasan kuota subsidi pupuk serta permasalahan kartu tani yang menjadi syarat untuk mengakses subsidi pupuk. Sejauh ini, yang petani lakukan untuk menghadapi kelangkaan pupuk adalah dengan melakukan modifikasi pemupukan dengan menggunakan pupuk organik cair (POC).
Selanjutnya, paparan mengenai hasil kajian tim dan testimoni petani direspons oleh pembahas yaitu, Ir. K.R.T. H. Darori Wonodipuro, M.M. dari Komisi IV DPR RI, Ir. Sugeng Purwanto, MMA selaku Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi DIY, dan Soeroyo sebagai perwakilan dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia/HKTI). Ir. K.R.T. H. Darori Wonodipuro, M.M. menyatakan bahwa pada kenyataannya, terdapat gap antara kebutuhan pupuk dan alokasi pupuk bersubsidi. Hingga saat ini, masih ada ketidaksinkronan data pada e-RDKK yang menjadi dasar penentuan jumlah subsidi pupuk. Di samping itu, masih ditemui perdagangan pupuk bersubsidi secara ilegal yang dilakukan antardaerah dan beberapa masalah pada pengecer resmi seperti pengecer yang memegang langsung kartu tani sehingga penjualan tidak sesuai e-RDKK, harga pupuk diatas HET, dan penjualan pupuk bersubsidi dilakukan secara paket dengan produk lainnya.
Ir. Sugeng Purwanto, MMA memaparkan bahwa di DIY sendiri hingga saat ini masih mengalami masalah subsidi pupuk dan saat ini penyalurannya masih 88%. Untuk itu perbaikan tata kelola alokasi dan distribusi puppuk bersubsidi sangat diperlukan sehingga pupuk yang disalurkan tepat jenis dan jumlah bagi petani. Turut mendukung pernyataan dari Dr. Jamhari, Soeroyo menjelaskan bahwa masih terdapat beberapa permasalahan dan keterbatasan pupuk besubsidi. Saat ini, pupuk subsidi hanya diperuntukkan bagi komoditas padi, jangung, dan tebu rakyat serta diberikan kepada usaha tani maksimal dengan luasan 2 ha. Dengan keterbatasan tersebut maka diperlukan penggunaan pupuk berimbang dengan pupuk organik.
Berdasarkan paparan dari perwakilan Tim PAKTA, petani, dan para pembahas, serta hasil diskusi yang melibatkan akademisi dan praktisi terkait, beberapa rekomendasi yang dapat dirumuskan atas permasalahan subsidi pupuk ini antara lain, perbaikan tata kelola subsidi pupuk, penyaluran pupuk secara targeted, pertimbangan skala usaha tani, pengaturan komoditas strategis, penetapan sistem transaksi pupuk bersubsidi, mengarahkan petani untuk menggunakan pupuk organik yang disediakan secara mandiri, serta menghubungkan subsidi pupuk dengan program lain yang berorientasi pada petani milenial. (RA)