Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (Faperta UGM) menjalin sinergi dengan Perhutani KPH Kedu Utara untuk meningkatkan produktivitas dan ketahanan tanaman kopi di Candiroto, Temanggung. Kolaborasi ini diwujudkan melalui rapat pra-survei Program Pengabdian Masyarakat (Abdimas) yang digelar pada Sabtu, 5 Juli 2025, di BKPH Candiroto. Kegiatan ini dihadiri oleh tim dosen Faperta UGM, mahasiswa Magister Manajemen Agribisnis, serta staf Perhutani.

Candiroto, yang dikenal sebagai salah satu sentra produksi kopi terbesar di Kabupaten Temanggung, saat ini menghadapi tantangan serius akibat serangan patogen yang menyerang akar dan batang tanaman kopi. Sistem agroforestri di bawah tegakan pinus menciptakan kondisi mikroklimat dengan tingkat kelembaban tinggi, yang diperparah oleh pola tanam yang rapat (1,5 m × 1,5 m) dan tajuk tanaman yang saling tumpang tindih. Kondisi ini mendukung perkembangan patogen dan mempercepat penyebaran penyakit. Oleh karena itu, diperlukan tindakan mitigasi melalui pemangkasan tajuk dan perbaikan sanitasi lahan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

Dalam diskusi terungkap bahwa petani belum memiliki fasilitas rumah kompos yang memadai. Pengolahan kompos saat ini masih dilakukan secara sederhana, seperti menumpuk seresah di lahan terbuka atau menimbun sisa-sisa daun ke dalam rorak, tanpa proses dekomposisi yang optimal. Padahal, penggunaan kompos berkualitas sangat penting untuk memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kesehatan tanaman, dan mengurangi ketergantungan pada pupuk anorganik serta pestisida sintetis. Untuk mendukung pengendalian penyakit tanaman kopi secara terpadu, peserta rapat menyarankan pembangunan pos-pos kompos dengan drum atau bioreaktor skala kecil di tiap wilayah. Selain itu, integrasi penggunaan biopestisida seperti larutan hasil fermentasi limbah organik (misalnya MOL dari kulit buah atau rebung bambu), serta agen hayati seperti Trichoderma spp. perlu didorong sebagai strategi preventif dan kuratif terhadap patogen penyebab penyakit tanaman kopi, terutama dalam ekosistem agroforestri yang lembab dan rawan infeksi.

Selain masalah penyakit, para petani juga menghadapi tantangan dalam proses pascapanen. Pengeringan biji kopi yang masih dilakukan secara manual menggunakan sinar matahari sering kali menurunkan kualitas biji, sehingga mempengaruhi harga jual yang saat ini berkisar Rp50.000–78.000 per kilogram.
Sebagai langkah awal, akan dilakukan uji coba pembuatan kompos pada lahan seluas 100 meter persegi dengan sistem aplikasi kompos menggunakan terpal, untuk mengevaluasi efektivitasnya sebelum diterapkan dalam skala yang lebih luas. Dalam proses dekomposisi, akan ditambahkan agen hayati Trichoderma spp. sebagai bioaktivator, yang tidak hanya mempercepat penguraian bahan organik tetapi juga berfungsi sebagai agen pengendali hayati terhadap patogen tanah. Selain diaplikasikan dalam kompos, Trichoderma spp. juga akan ditebar langsung ke lahan tanam sebagai bagian dari strategi pengendalian penyakit terpadu, khususnya untuk menekan infeksi patogen yang menyerang akar dan batang tanaman kopi.
Program pengabdian kepada masyarakat ini turut mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 1: Tanpa Kemiskinan, SDG 2: Tanpa Kelaparan, SDG 12: Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab, SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim, SDG 15: Ekosistem Daratan, SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.
Penulis: Agrit Kirana Bunda
Editor: Desi Utami





























